Selasa, 29 Januari 2013


SABAR, SYUKUR DAN MANUSIA BERMARTABAT

Sebagai salah sifat atau akhlak yang terpuji, sabar dan syukur merupakan ajaran yang banyak sekali disinggung dalam ayat maupun hadis Rasulullah saw, sehingga dengan demikian, manusia senantiasa diarahkan untuk tetap bersikap sabar dan syukur dalam segala aspek kehidupannya. Dalam prakteknya, kesabaran yang sebenarnya adalah kemampuan dalam mengendalikan sikap, sehingga bisa dengan ikhlas dan rela hati menerima kondisi yang dihadapinya saat ini demi balasan yang baik di akhirat.

Seseorang yang penyabar pada prakteknya tergambar dalam sikapnya yang rela menunda kesenangan sesaat, demi kebahagiaan abadi dan jangka panjang di akhirat sebagai kesenangan yang jauh lebih tinggi yang disediakan Allah kepada orang-orang yang sabar. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an :

“Dan sesungguhnya balasan di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa” (QS.12/Yusuf:57).

Seseorang yang memiliki kesabaran yang tinggi, memiliki ketangguhan menghadapi berbagai cobaan dan tantangan hidup yang menghadangnya. Sebab kesabaran itu merupakan kekuatan dahsyat yang amat besar bagi seseorang yang ingin meraih sukses dalam kehidupan. Hampir seluruh aspek kehidupan membutuhkan kesabaran, dan sikap sabar merupakan salah satu “akhlak Qur’ani” yang paling banyak dibicarakan dalam al-Qur’an. Menurut Imam Al-Ghazali ada 70 kali Al-Qur’an menyebutkannya, menurut Ibnul Qayyim 90 kali, bahkan menurut al-Nadhir 100 kali sikap sabar ini disebut-sebut dalam Al-qur’an. Itu mengindikasikan bahwa sabar merupakan amalan paling utama yang menentukan keberhasilan hidup dan aktivitas manusia.

Islam tidak mengenal batas dalam kesabaran, sebagaimana sering dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk melegalkan perbuatannya diluar batas kesabaran. Dalam Islam ditekankan bahwa setiap mukmin harus tetap dalam kesabaran agar dapat meningkatkan kualitas mentalnya.

Adapun bentuk kesabaran yang diajarkan dalam Islam adalah kesabaran progresif dan dinamis, bukan kesabaran yang represif statis yang dapat memandulkan kreatifitas dan aktifitas seseorang itu. Kesabaran yang dinamis itu ditunjukkan dengan sikap pantang menyerah, tangguh dan ulet dalam menghadapi berbagai tantangan dan cobaan hidup. Kesabaran yang dinamis itu harus dimotifasi oleh semangat kerelaan untuk menunda kesenangan sesaat, demi kebahagiaan yang abadi di akhirat. Inilah kesabaran yang nantinya akan membuat seseorang menjadi lebih dekat dengan Tuhannya, sebagaimana al-Qur’an menyebutkan:

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bersabar”.

Disamping sifat sabar, sikap syukur juga perlu diaplikasikan seseorang dalam hidupnya. Hal ini agar ia menyadari posisinya sebagai makhluk ciptaan Allah yang harus tunduk dan tidak pantas bersikap sombong dan takabbur dihadapanNya. Kesadaran bersyukur dapat melahirkan sikap rendah hati, tawadhu, terbuka dan memiliki sikap peduli kepada sesama. Sehingga membuka peluang bagi diperolehnya rahmat Allah swt, dan membuka peluang bagi diperolehnya kebahagiaan dan nikmat dari Allah, sebagaimana firman Allah swt:

“Jika kamu bersyukur, akan Kutambahkan nikmatKU kepadamu. Akan tetapi jika kamu kufur sesungguhnya azabKU amat pedih” (QS.14/Ibrahim:7)

Dari penjelasan berbagai ayat dan al-Hadist, maka sebenarnya sikap sabar dan syukur jika diamalkan secara dinamis sesuai dengan tuntunan Islam, maka hal tersebut akan mengantar seseorang menjadi hamba Allah yang berpredikat mulia dan bermartabat, serta mendapat lindungan Allah swt. Terkait dengan hal ini, salah satu do’a yang diajarkan Rasulullah saw. adalah sebagai berikut :

“Ya Allah, jadikanlah aku orang yang sabar, dan jadikanlah aku orang yang bersyukur, serta jadikanlah aku di depan pandanganku kecil, dan di depan pandangan manusia bermartabat “.

Melihat dari urutan do’a seperti yang pohonkan oleh Nabi saw. tersebut diatas, mengindikasikan betapa erat kaitannya antara permohonan supaya menjadi hamba yang bersabar, hamba yang bersyukur dan hamba yang bermartabat mulia.

Sebagai penutup khutbah kita kali ini dapatlah kita simpulkan bahwa sabar dan syukur sangat dituntut dalam segala aspek kehidupannya. Sikap sabar ditunjukkan dengan kerelaan hati menerima kondisi yang dihadapinya saat ini demi kepentingan akhirat. Sebab pahala atas kesabaran itu berupa pahala yang bersar yang akan diperoleh di akhirat.

Seorang yang memiliki kesabaran yang tinggi, memiliki ketangguhan menghadapi berbagai cobaan, dan sikap sabar merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan hidup dan aktivitas manusia. Tidak ada batasan dalam kesabaran, karena kesabaran itu dapat menjadikan seseorang lebih dekat dengan Tuhannya.

Bagi mereka yang ingin mendapatkan kemuliaan dan derajat yang tinggi, hendaklah berusaha semaksimal mungkin agar dapat menjalankan kesabaran dan kesyukuran dengan baik, sebab kedua hal tersebut sangat berpengaruh untuk mengangkat harkat dan martabat seseorang menjadi lebih baik.

Senin, 07 Januari 2013

Eropa Abad Pertengahan



Abad Pertengahan adalah periode sejarah di Eropa sejak bersatunya kembali daerah bekas kekuasaan Kekaisaran Romawi Barat di bawah prakarsa raja Charlemagne pada abad 5 hingga munculnya monarkhi-monarkhi nasional, dimulainya penjelajahan samudra, kebangkitan humanisme, serta Reformasi Protestan dengan dimulainya renaisans pada tahun 1517Abad Pertengahan merupakan abad kebangkitan religi di Eropa. Pada masa ini agama berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, termasuk pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, sains yang telah berkembang di masa zaman klasik dipinggirkan dan dianggap lebih sebagai ilmu sihir yang mengalihkan perhatian manusia dari ketuhanan.
Eropa dilanda Zaman Kelam (Dark Ages) sebelum tiba Zaman Pembaharuan. Maksud “Zaman Kelam” ialah zaman masyarakat Eropa menghadapi kemunduran intelek dan kelembapan ilmu pengetahuan. Menurut Ensiklopedia Amerikana, tempoh zaman ini selama 600 tahun, dan bermula antara zaman kejatuhan Kerajaan Rom dan berakhir dengan kebangkitan intelektual pada abad ke-15 Masehi. “Gelap” juga bermaksud tiada prospek yang jelas bagi masyarakat Eropa. Keadaan ini merupakan wujud tindakan dan cengkraman kuat pihak berkuasa agama; Gereja Kristen yang sangat berpengaruh. Gereja serta para pendeta mengawasi pemikiran masyarakat serta juga politik. Mereka berpendapat hanya gereja saja yang layak untuk menentukan kehidupan, pemikiran, politik dan ilmu pengetahuan. Akibatnya kaum cendekiawan yang terdiri daripada ahli-ahli sains asa mereka ditekan dan dikawal ketat. Pemikiran mereka ditolak. siapa yang mengeluarkan teori yang bertentangan dengan pandangan gereja akan ditangkap dan didera malah ada yang dibunuh.
Pikiran ini, terimplementasi melalui teori yang dikeluarkan oleh Thomas Aquinas (m 1274) seorang ahli falfasah yakni “negara wajib tunduk kepada kehendak gereja”. St Augustine (m 430) sebelumnya juga berpendirian demikian. Manakala Dante Alighieri (1265-1321) berpendapat kedua-dua kuasa itu hendaklah masing-masing berdiri sendiri, dan mestilah bekerjasama untuk mewujudkan kebajikan bagi manusia (Joseph H Lynch, 1992, 172-174).
Dalam paradigma abad pertengahan, dua wilayah agama dan dunia terpisah total satu dengan yang lain sehingga tidak ada peluang bagi ekspansi satu terhadap yang lain atau pembauran antar keduanya. Seorang manusia kalau tidak ‘melangit’ haruslah ‘membumi’, atau kalau tidak meyakini kekuasaan alam gaib terhadap segala urusan hidupnya, maka dia harus memutuskan hubungan secara total dengan Tuhan dan roh-roh kudus, dan jika dia menghargai jasmani dan urusan materinya maka dia bukan lagi seorang rohaniwan dan berarti telah memutuskan hubungan dengan Tuhan. Kata Augustine “siapapun yang mahir dalam kesenian, perang, dan filsafat adalah orang yang bejat dan sesat, karena dia berasal dari kota setan dimana kebahagiaannya tak lebih dari sekadar topeng yang menipu, dan keindahannya hanya merupakan wajah alam kubur”. Kota inilah yang tidak diterima oleh Tuhan dan fitrah manusia. Karena orang yang sombong dan angkuh adalah merupakan kepekatan hari dan orang yang memiliki pengetahuan tentang segala yang harus diketahui oleh orang-orang terpuji. Dan ketika melihat kota setan ini tenggelam ke dalam kesesatan dan kesombongannya, maka semua sudut kegelapannya akan terlihat.
Konsep diatas, dipertegas oleh Fritjof Capra (2004) yakni : “Para ilmuwan pada Abat Pertengahan, yang mencari-cari tujuan dasar yang mendasari berbagai fenomena, menganggap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan Tuhan, roh manusia, dan etika, sebagai pertanyaan-pertanyaan yang memiliki signifikansi tinggi, jadi ilmu didasarkan atas penalaran keimanan”.
Dengan demikian, kerangka berpikir yang dominan pada abad pertengahan dan tekanan kuat para elit gereja yang menganggap dirinya pengawas tatanan yang menguasai dunia dan telah menginterogasi ideologi para ilmuan dan menyeret mereka ke pengadilan serta menganggap kegiatan ilmiah sebagai campurtangan setan, kemudian faktor-faktor lain yang berada di luar pembahasan ini telah menjadi latar belakang munculnya Renaisans yang telah melahirkan teriakan protes terhadap kondisi yang dominan pada abad pertengahan.
Abad Pertengahan berakhir pada abad ke-15 dan kemudian disusul dengan zaman Renaissance. Zaman Renaissance berlangsung pada akhir abad ke-15 dan 16. Kesenian, sastra musik berkembang dengan pesat. Ada suatu kegairahan baru, suatu pencerahan. Ilmu pengetahuan mulai dikembangkan oleh Leonardo da Vinci (1452-1519), Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1643), dll.